Ledakan Netizen Tak Terkendali

The term Netizen is a portmanteau of the words Internet and citizen as in "citizen of the net".[1][2][3] It describes a person[4] actively involved in online communities or the Internet in general.[5][6] The term commonly also implies an interest and active engagement in improving the Internet, making it an intellectual and a social resource,[4] or its surrounding political structures, especially in regard to open access, net neutrality and free speech.[7]

Wikipedia 

Tulisan saya kali ini langsung saya awali dengan penjabaran arti kata Netizen agar langsung memahami maksud dari tulisan saya kali ini. Saya ingin jelaskan sekali lagi dengan bahasa saya yang mudah dan tidak terlalu spesifik menjerumus agar lebih mudah dipahami lebih lagi, netizen adalah kita, kita yang menggunakan teknologi dan jaringan internet yang mengkoneksikan kita dengan segala hal dan seluruh orang di seluruh dunia yang kita aktif gunakan, contoh kata aktif di sini bisa berangkat dari tindakan simple seperti upload (foto/lagu/kata-kata/karya dsb) dan mengkritik atau memberi komentar akan sesuatu di ranah online.

Netizen saat ini sangat jelas terlihat terlibat banyak di dalam beberapa media sosial, karena memang itu tujuan dari dibuatnya media sosial, media untuk netizen bersosial di dalamnya tanpa harus bertatap muka untuk mewujudkannya, selain media sosial, ada i-news dan jual-beli online yang merajai keaktifan netizen di seluruh dunia. Perkembangan teknologi saat ini memang sungguh membawa banyak sekali pengaruh, baik yang positif maupun negatif, semakin ke sini semakin bertambah dan terus bertambah netizen yang ada di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.

Pertambahan netizen di Indonesia ini tak diikuti dengan kualitas pengetahuan netizen yang baik akan fungsi dan manfaat yang positif, dengan tipikel masyarakat Indonesia yang begitu membooming lalu seluruh orang berlomba-lomba untuk terjun dari ledakan tersebut, sehingga yang saya lihat kini adalah dampak negatif yang justru banyak timbul karena faktor belum siapnya netizen untuk menjadi netizen, ledakan netizen tak terkendali di Indonesia.

Jika anda masih bingung dengan apa yang saya bicarakan, saya akan mengibaratkan netizen ini dengan penduduk real di Indonesia. Pertambahan penduduk di dunia memang memberikan banyak efek, baik yang positif maupun negatif, namun di Indonesia, pertumbuhan penduduknya menjadi over karena tidak dikontrol dengan mumpuni dan pemahaman rakyatnya yang belum matang membuat mereka tidak berpikir banyak untuk membuat keluarga kecilnya menjadi keluarga besar (dalam hitungan jumlah). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas pemahaman rakyat Indonesia akan kehidupan yang layak dengan banyaknya keturunan di era kini masih belum mumpuni atau belum cukup hingga akhirnya muncul program Keluarga Berencana untuk sosialisasinya agar dapat direm pertumbuhannya karena menimbulkan banyak dampak negatif seperti penggangguran, kemiskinan hingga kematian. Sama halnya dengan netizen yang telah saya jelaskan tadi, netizen di Indonesia juga mengalami hal serupa, belum siap menjadi netizen namun terus bertambah angka netizen baru yang belum siap itu setiap harinya, yang pada akhirnya menimbulkan banyak hal negatif baik di dunia maya maupun nyata yang selanjutnya akan saya jelaskan beberapanya dengan contoh kejadian nyatanya.

Pernahkah anda membaca berita mengenai penculikan yang berujung pemerkosaan seorang wanita ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan kekasih hatinya? Kekasih hati yang dia "jumpai" di media sosial yang pada akhirnya memutuskan untuk berjumpa di dunia nyata namun nasibnya tidak seindah apa yang diharapkannya. Ini adalah salah satu bentuk contoh "kecerobohan" netizen itu sendiri, dimana terlalu mempercayakan apa yang sejatinya tampak di dunia maya dan mau mau saja diajak oleh sang kekasih untuk pertama kalinya di sebuah tempat yang kebanyakan tempat sepi dan seorang diri, ini adalah kesalahan persona dari sang wanita, karena ada faktor pada dirinya yang membuatnya menjadi korban kejahatan (ini adalah teori dari sebab menjadi korban di dalam viktimologi/ilmu tentang korban). 

Selanjutnya yang sedang heboh akhir-akhir ini adalah ulah netizen yang TIDAK MENGHORMATI para pahlawan di monumennya dengan mengunggah foto tersebut di media sosial. Ini adalah bentuk kongkrit betapa netizen tersebut sangat belum siap menjadi netizen. Kenapa demikian?

Kenapa netizen belum siap menjadi netizen? Di era yang aneh ini, saya menganggap banyak efek negatif dari media sosial, seperti Eksistensi yang berujung negatif seperti contoh patung pahlawan tadi, mempercayai mentah-mentah apa yang ada di media sosial akhirnya diculik dan diperkosa, bullying, penipuan dan lain-lain.

Yang akan saya sorot sekali adalah masalah eksistensi ini, mengapa eksistensi negatif? Karena tidak digunakan sebijak-bijaknya, padahal banyak sekali dari faktor eksistensi ini dapat membawa efek positif dalam kehidupan netizen, misalkan saja aktif dalam organisasi atau menjadi volunteer atas champaign issue tertentu yang akan membawa netizen aktif dan mendapat jaringan dari banyak negara, it's realy cool. Namun untuk netizen di Indonesia, sayang sekali banyak yang tidak memanfaatkan eksistensinya di media sosial sebagai tujuan positif tapi negatif, dengan pandangan akan dipandang banyak orang dengan melakukan hal-hal yang dianggapnya keren atau bisa diibaratkan seperti anak kecil yang sedang cari perhatian, pasti akan melakukan segala hal baik dengan bermanja-manja atau merengek menangis agar segera diperhatikan, itulah sekarang yang terjadi di Indonesia. Hal-hal yang tidak baik atau justru tidak pantas saat ini malah menjadi pemandangan yang umum di media sosial, hal-hal tersebut dipertontonkan dengan bangga oleh yang empunya, berharap mendapat atensi yang banyak dari netizen lain, dengan tidak mengindahkan nilai-nilai yang ada di masyarakat lagi, masyarakat Indonesia mulai kehilangan nilai-nilainya terutama para netizen yang belum siap menjadi netizen ini, atau netizen yang belum "dewasa".

Ciptakanlah benefit dalam keaktifan anda sebagai netizen, ada satu quote dari istri John F Kennedy yang bisa netizen serap baik-baik maknanya...semoga bermanfaat dan dapat mengarahkan seluruh netizen ke arah yang lebih baik.

Jangan sampai Ledakan Netizen Tak Terkendali ini justru menghacurkan dunia dan netizen sendiri. Netizen lebih mudah menggapai dunia daripada orang-orang yang hanyak teriak-teriak menonton televisi dan hanya itu yang bisa mereka lakukan, manfaatkanlah apa yang telah anda ketahui, keuntungan menjadi netizen, minimal manfaatkan untuk hal positif bagi diri anda sendiri

Demikian tulisan kedua saya, terbuka untuk kritik, saran dan ralat (akan fakta)
Jangan budayakan mencerca
Mari berdiskusi dengan cerdas dan berkelas

Terimakasih

Iren Gian Prasetya 

Kebebasan PERS Yang Tidak Bebas

Untuk tulisan pertama saya di blog baru saya ini saya akan mengangkat tema pembahasan tentang PERS

Pers atau Media Massa yang lebih dikenal oleh masyarakat awam adalah wartawan, acara berita radio/televisi, koran/majalah/tabloid dan lain sebagainya...dan saya tidak berani mengidentifikasi secara spesifik apa itu Pers/Media Massa karena saya kurang berilmu dan belum menelisik lebih lanjut.

Di sini saya akan memposisikan diri sebagai masyarakat awam yang hanya mempunyai pengetahuan awam tentang tema ini, dan saya berharap teman teman sekalian yang sempat membaca tulisan saya ini yang memang terjun pada bidangnya, berkenan untuk memberikan komentar atau meralat apabila terdapat ketidak sesuaian tulisan dengan fakta yang ada.

Wartawan di Indonesia telah dijamin hak dan kewajibannya atau lebih simplenya telah diberikan kebebasan dalam menjalankan tugasnya oleh Undang-Undang, saya berani menjamin itu karena telah terdapat aturan yang menjamin tentang kebebasan Pers, aturan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

Dikutip dari Wikipedia

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Lalu mengapa memberikan judul tulisan ini Kebebasan PERS Yang Tidak Bebas?
Saran pertama dari saya sebelum saya jelaskan lebih lanjut, jangan telan mentah-mentah apa yang saya tulis di awal hingga akhir karena ini hanya blog buah pikir seorang saya saja....

Di awal saya telah menjabarkan secara harfiah ala ala yang tidak harfiah juga hanya copy-paste dari website terpercaya, karena saya selama menekuni perkuliahan di Starta-1 Ilmu Hukum, saya sendiri tidak mengambil konsen pada hukum Pers. Selanjutnya saya akan memberikan pendapat saya sebagai orang awam yang menanggapi Pers di era kini.

Jujur, saya sebagai seorang yang masih cukup muda merasa kecewa dengan beberapa pers atau pihak dari media massa yang tidak memberikan "kebebasan" persnya kepada wartawannya sendiri, itu memang sudah menjadi rahasia umum seperti contoh salah satu atau salah dua atau justru semua chanel TV News mempunyai poros atau condong dalam memberitakan sesuatu atau bisa dikatakan tidak netral. Wartawan-wartawan yang bekerja di bawah naungan perusahaan tersebut dipaksakan arahan liputan serta pemberitaannya ke arah yang jelas telah ditentukan. Entah hal tersebut mereka (petinggi perusahaan atau yang mempunyai kepentingan) anggap sebagai "kebebebasan" pers atau bukan, namun bagi saya inilah yang saya sebut sebagai kebebasan pers yang tidak bebas.

Mengapa saya berani-beraninya memberikan statement seperti itu?

Karena menurut saya, kebebasan pers itu dimiliki oleh individual atau persona. Bukan mutlak hanya perusahaan media saja yang memiliki, seperti yang telah saya jabarkan mengenai aturan yang mengatur tentang kebebasan Pers di awal tadi, sudah tertera jelas bahkan setiap orang mempunyai hak tersebut terlepas dari kartu identitas Pers. Lalu bagaimana bisa seorang wartawan dipaksakan untuk memberitakan sesuatu sesuai dengan pandangan atau kepentingan orang lain padahal wartawan tersebut berhak menulis dan memberitakan hal-hal yang dia liput, investigasi dan dia publis sesuai dengan apa yang hendak wartawan itu beritakan? UANG atau lebih lembut saya sebut SALARY.

Ya beginilah, konsep kerja yang ada di dunia ini, kebutuhan diberikan sesuai dengan task yang diselesaikan, atau bagaimana terserah anda memahami makna dari pola bekerja-upah. Maaf agak sensitif saya menyinggung mengenai upah, namun memang beginilah kenyataannya, dan dari sinilah beberapa hal negatif menurut saya bermunculan.

Pertama-tama kita mengetahui secara langsung bagaimana tipikel masyarakat di Indonesia, apalagi yang berkaitan dengan Pers, contohnya mengenai dampak, mari kita bahas dampak-dampak tersebut secara lebih lanjut.

Tipe masyarakat Indonesia adalah mudah dipancing emosinya, kurang inisiatif dalam mengkroscek sesuatu, yang paling parah adalah menelan mentah-mentah suatu pemberitaan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai peluang bagus oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan alias politikus, dalam hal apapun, dalam waktu yang bagaimanapun, dalam keadaan apapun dan dimanapun, peran media dianggap kuat oleh banyak pihak sebagai pengarah opini masyarakat luas secara umum dan dapat mendominasi opini (opini publik). Menurut saya, ini akan semakin "membodohkan" masyarakat, bukan mencerdaskan bangsa! Kita dipermainkan oleh golongan tertentu untuk keuntungan mereka, posisi mereka, status mereka, harta mereka, menjatuhkan musuh mereka. Didiklah kami ini para netizen dan masyarakat dari semua golongan yang mampu pers raih untuk berpikiran terbuka.


Bagaimana masyarakat dapat membuka pikirannya apabila pers tertentu berlomba-lomba membuat "ombak" yang memaksa rakyat untuk sependapat?

Banyak kasus terjadi yang dari benar menjadi salah, dari salah menjadi benar dan setelah memakan waktu cukup lama baru kebenaran hakikinya terkuak, judgement dari masyarakat saat ini adalah yang paling mutlak dan mengerikan mengalahkan judgement dari hakim. Saya sedih melihat masyarakat kini yang terdidik untuk menjadi hakim oleh suatu pandangan yang terkuat, apakah anda pernah melihat korban dari judgement masyarakat dan media? Saya beri satu contoh, terkadang korban dari suatu kejahatan adalah korban ganda pada akhirnya dari media massa, kali ini saya berani jamin karena saya menekuni keilmuan hukum mengenai korban (viktimologi) sebagai konsentrasi saya. Ada beberapa kasus dari kejahatan di kelas masyarakat langsung seperti pemerkosaan dan pencabulan, walaupun korban-korban telah disamarkan identitasnya, namun penayangan yang berulang-ulang di media elektronik maupun cetak, serta peliputan oleh banyak wartawan terkadang membuat si korban kejahatan tersebut semakin drop psikisnya dan semakin memperburuk keadaan, inilah hal-hal kecil yang saya tidak setuju akan tindakan persnya, ekspose berlebihan karena hal tersebut telah menjadi head-line pemberitaan dimanapun, it's judgement secara tidak langsung. Serius saya katakan, cara tersebut dapat membunuh nyawa seseorang.

Inilah Kebebasan PERS Yang Tidak Bebas, untuk wartawan-wartawan yang sempatkan diri membaca tulisan ini...
Bantu kami masyarakat Indonesia untuk berpemikiran luas, cerdaskan kami dengan cara pemberitaan yang tepat, uang dapat membelokan segalanya, tapi janganlah untuk hati nurani...

Demikian tulisan pertama saya, terbuka untuk kritik, saran dan ralat (akan fakta)
Jangan budayakan mencerca
Mari berdiskusi dengan cerdas dan berkelas

Terimakasih

Iren Gian Prasetya

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images